Senin, 28 Februari 2011

Sedingin Embun Pagi

Aku terdiam sejenak disini
Memandang kemana arah b0la mata
Aku terpaku sekejap disana
Men0leh kemana arah bayang diri
Aku membisu
Sedingin embun pagi
Aku membeku
Sedingin embun pagi

Dingin yg menusuk kalbu
Hingga aku tak kuasa tuk beranjak
Dingin yg memenjara pintu
Hingga aku tak mampu tuk berteriak
Aku membisu
Sedingin embun pagi
Aku membeku
Sedingin embun pagi

Minggu, 27 Februari 2011

Dibalik Senja...


Dibalik senja...
Ku memikirkan satu nama, namamu
Yang tak pernah lekang oleh waktu

Dibalik senja...
Ku teringat akan hadir dirimu
Yang menemani kala ku sendu

Dibalik senja...
Ku melukiskan potret bayang dirimu
Yang sampai detik ini tetap dihatiku

Dibalik senja...
Ku tersenyum walau hati meragu
Yang telah biasa tanpa nyatamu

Dibalik senja...
Adakah kamu memikirkanku?
Adakah kamu teringat akanku?

Dibalik senja...
Adakah kamu melukiskanku?
Adakah kamu tersenyum untukku?

Dibalik senja...
Ku terus menanti hari-hari itu
Saat bisa menghabiskan waktu bersamamu

Dibalik senja...
Ku terus berharap akan janji-janjimu
Sampai ku tak tahu kapan itu

Dibalik senja...
Ya... hanya dibalik senja
Yang tak terhitung oleh nyawa

Pilih yg Mana?

Hidup ini penuh dg banyak pilihan. Penuh lika-liku. Terkadang kita dibuat pusing akan pilihan itu. Tak bisa memutuskan dalam sekejap mata. Kalaupun bisa, pastilah ada pertimbangan yg terlintas. Bukan perkara gampang utk menentukan sebuah pilihan. Harus ditimbang masak-masak, sekalian aja masak di dapur, hehe. Tapi, biar bagaimanapun kita harus memilih. Sekalipun pada akhirnya belum tentu pilihan itu tepat utk kita.
Hm, aku bingung, pilih yg mana ya? Pilih yg mana? Aku pilih yg itu, itu, itu...tapi, apa benar itu? Bingung!
Kata pepatah, pilih aja yg ada di pikiranmu. Jika kamu yakin, maka pilihan itu bisa aja benar. Tapi jgn terburu-buru, yakinkan dlm hati, pikirkan baik-baik, nah baru deh dipilih.

Selasa, 22 Februari 2011

Hanya Mimpi

Kurasakan mimpi itu seperti nyata
Jelas dan terus membayang di pelupuk mata
Dalam diam dan terjaga dari mimpi
Kuhembuskan sederetan kata untuknya
Bahagiaku bila kau ada...!!!

Mimpi...andai saja itu kenyataan
Andai saja itu benar-benar ada
Kau dan aku...serta cinta...
Menyatu dalam hitungan waktu
Tapi semua hanya dalam mimpi!

Memory on 310107

Kebersamaan itu :'(

takkan pernah sama
takkan juga satu
semua hanya semu

begitu yg trus aku rasa dari sikapmu..harus dg cara apalagi utk membuatmu sadar?? kamu hanya menginginkan kesenangan, sementara aku..perih!!

tidakkah kamu pahami smua itu?? smua hal yg pernah qt bagi..qt lalui..qt arungi..walau tak slalu bersama?? ada apa denganmu wahai priaku..??

kebersamaan itu hanya membunuh waktu, menoreh luka, membenci cinta :'(

Senin, 21 Februari 2011

SEMANGAT!!

sudah lama shie gak pernah buka blog lagi..hampir aja lupa passwordna..ya sekarang Alhamdulillah udah bisa dibuka!! mulai ngisi lagi deh walau masih acakadut..hehehe^^

pokokna..SEMANGAT!!

apalagi mulai bulan2 ini sampai ke depan dah mau SKRIPSI..hm, cayooo..sempat2in juga nulis disini deh..hehehe..shie love poem..shie miss poem..always in my mind :*

Sally dalam Firasatnya

Firasat

Awan mendung bergelantung di langit

Sesosok bayang mulai berkelebat

Aku terhenyak menuju sudut

Menekur diri seakan terpahat

Membenam wajah seraya berkutat

Tapi yang tertera hanya benang kusut

Dan kini, ingin aku tutup rapat

Agar tak ada lagi sendu di langit

Tapi bagaimana caranya, sobat?

Haruskah aku membunuh dalam hasrat?

Aku benci tapi rindu mencuat

Ingin aku tepis tapi aku tak kuat

Dan kini, aku meringis seakan takut

Hingga perih tak bisa tercatat

Dalam memori hari di bawah langit

Yang kian hari kian menyeret

Aku ke dalam lembah zulmat

Apakah semua ini hanya firasat?

Dalam mendung yang datang sesaat


Sally menutup lembaran biru yang hampir usang itu. Entah sudah berapa tahun lembaran biru itu masih tersimpan rapi dalam laci rahasianya. Sally ingin membuangnya tapi tak bisa jua. Tiba-tiba, Sally merasa ada yang menyenggol kakinya. Sally bergidik dalam remang cahaya, mengambil lentera yang ada di dekat lembaran biru itu. Mencoba menengok ke bawah, ke arah kakinya.

”Meooong...meooong...” sahut kucing kesayangannya.

”Ah, ternyata...Kitty...kamu ini, mengangetkan Sally saja.” Sally lalu meletakkan lentera itu di tempatnya semula.

Kemudian Sally mengendong kucing kesayangannya, Kitty. Kitty pun terhanyut dalam gendongan Sally. Hari sudah larut, Sally melirik sebentar di balik tirai dekat tempat ia membaca lembaran biru itu. Hujan telah berhenti di persimpangan jalan, hanya tersisa gerimis dalam pelangi di malam hari. Tanpa airmata lagi, ia berbalik melihat lembaran biru itu, melipatnya dengan hati-hati dan menyimpannya kembali dalam laci rahasianya.

* * *

”Sally, bangun sayang...sudah pukul enam pagi nih. Nanti kamu terlambat ke sekolah, lho.” ujar Mama dari lantai bawah.

Sally tersentak kaget, melirik jam weaker di dekat tempat tidurnya. ”Hooam...” lalu bergegas bangun dan merapikan diri sekenanya.

Di lantai bawah, tepatnya di ruang makan, Mama, Papa dan Bang Sandy telah duduk manis menanti Sally untuk sarapan bersama. Sally segera menuju meja makan, tak lupa pula ia memberi makan pada Kitty yang semalam menemaninya tidur.

”Sally, hari ini kamu pergi dengan Bang Sandy, ya. Papa nggak bisa ngantarin kamu. Karena ada proyek yang harus segera diselesaikan.” kata Mama memecah kesunyian di meja makan itu.

”Hm...iya, Ma. Tapi...Mama udah tanya belum, Bang Sandy mau nggak antar Sally ke sekolah?” sahut Sally sambil melirik ke arah Abang satu-satunya.

”Ya sudah, sayang. Makanya Mama berani bilang gitu ke kamu.”

Sally tertawa kecil lalu berucap, ”Tumben Bang Sandy mau ngantar Sally, biasanya selalu cari-cari alasan, sibuk inilah, sibuk itulah, hehehe...peace, Bang.”

”Kamu nih, nakal ya! Abang tuh memang sibuk, tahu! Sekarang aja lagi nggak sibuk, makanya Abang mau ngantar kamu. Kalau Abang sibuk, mana Abang mau! Sekali-kali kamu harus mencoba naik bus atau apa gitu, biar lebih mandiri. Betul nggak, Pa?” cerocos Bang Sandy.

”Huuuh...kok Abang gitu sih.” gerutu Sally.

”Iya, Abangmu tuh benar, Sally. Kapan-kapan, kalau Papa sibuk dan Abangmu sibuk, kamu boleh kok pergi dan pulang sekolah naik bus. Ntar Papa kasih uangnya.” dukung Papa pada ucapan Bang Sandy.

“Iya..iya..ntar Sally coba deh.”

* * *

Di sekolah, Sally bertemu dengan teman-temannya dan Ibu Bapak guru. Pelajaran pertama dan kedua dilaluinya dengan lancar namun agak murung. Karena sejak pelajaran kedua, awan mendung memenuhi langit dan tampaknya akan turun hujan lebat lagi seperti kemarin. Dan tiba-tiba guntur berbunyi nyaring, membuat siswa-siswi berlarian dari kantin menuju kelasnya kembali, saat istirahat baru saja dimulai.

Sally tetap di kelas, menatap langit dari kejauhan, di selasar depan kelasnya. Ia teringat puisi yang kemarin dibukanya kembali setelah beberapa tahun telah tertutup. Peristiwa itu yang akhir-akhir ini membuatnya agak murung.

“Hai, Ly…ngapain disini, ntar basah, lho. Mau hujan-hujanan ya?” tanya Amel, teman sebangkunya.

“Ng...Nggak kok, cuma ngelihatin langit doank.” kilah Sally.

“Nggak usah bohong deh dengan Amel, bilang aja kenapa?! Akhir-akhir ini Amel perhatiin, Sally selalu sendiri dan murung.”

“Hm, kayak lagu Peterpan aja deh…Sally nggak kenapa-napa, kok. Makasih ya udah perhatian dengan Sally, Mel.” Sally tersenyum tipis.

Amel membalas senyuman Sally. Lalu mengajaknya masuk ke kelas karena sebentar lagi bel istirahat berbunyi dan itu tandanya, pelajaran ketiga akan dimulai. Sally mengambil buku dalam tasnya, sambil menoleh ke arah hp yang disimpan dekat buku-buku pelajarannya. Ada sms masuk, Sally membukanya.

Sally, maaf ya Abang nggak bisa jemput kamu pulang sekolah. Abang ada tugas mendadak. Papa juga masih sibuk. Kayaknya adikku ini harus pulang naik bus, hehe. Sally pakai uang jajan Sally dulu ya, maaf sebelumnya.

“Ada apa, Ly?” Amel bertanya karena raut wajah Sally berubah seketika setelah mebaca sms dari hp-nya.

“Oh...Bang Sandy sms, katanya nggak bisa jemput Sally. Jadi, Sally pulang naik bus, gitu.”

“Ikut Amel aja, Ly. Mau nggak?” tawar Amel.

”Nggak usah deh, ntar ngerepotin pula. Lagian rumah kita kan beda arah. Memangnya kamu mau, bolak-balik gitu?”

”Iya sih, jadi gimana donk? Sally tetap pulang naik bus kah? Kayaknya seru juga tuh, jadi pengen coba deh, hehehe…”

“Sally aja baru mau coba nih. Moga sampai di rumah dengan selamat.”

”Amin!”

* * *

Sally berdiri di depan gerbang sekolah, celingak celinguk menunggu bus datang. Sesaat kemudian, bus yang dicarinya nongol juga. Sally lalu menyetop bus itu dan beranjak meninggalkan sekolahnya. Sally duduk di kursi deretan tiga dekat jendela. Siang itu, hari masih hujan namun hanya gerimis saja. Jadi, Sally tak perlu khawatir akan basah kuyup nantinya sesampai di rumah.

Tepat di depan rumah, Sally memberhentikan bus yang ditumpanginya. Seketika pula, gerimis berubah menjadi rinai hujan yang dahsyat. Sally berlari menuju daun pintu rumahnya, berharap Mama yang ada di dalam rumah segera keluar meraihnya. Dingin, langkah Sally menjadi lambat dan gelap menyerbu sekelilingnya. Sally tumbang sebelum sempat menarik daun pintu.

* * *

“Sally…Sally…bangun, sayang. Ini Mama, sayang.” bisik Mama di telinga Sally sambil menahan isak tangisnya.

“Sudahlah, Ma. Ikhlaskan kepergian Sally, mungkin ini sudah takdir hidupnya.” Papa mencoba menghibur Mama yang terpuruk melihat kekauan anak perempuannya.

“Pa…Ma…maafkan Sandy, ya. Sandy yang salah karena nggak jemput Sally. Seharusnya Sandy bisa menyampingkan tugas itu, kalau saja pasien langganan Sandy tak kambuh sakitnya.” Sandy menyadari kesalahannya.

“Sudahlah, tidak ada yang patut disalahkan, semua ini sudah menjadi takdir Illahi. Tak ada yang sanggup mencegah kepergian seseorang, terutama Sally. Biarpun kamu atau dokter lainnya bilang, Sally masih bisa bertahan hidup 2 sampai 3 tahun lagi.” ujar Papa dalam ketabahan.

Tapi, Pa…Mama masih ingin melihat senyuman Sally dan kembalinya Sally dalam riang gembira, bukan kemurungan atau bahkan kepergian yang secepat ini. Hiks…hiks…”

“Ya…Papa juga, Ma. Tapi apakah kita bisa menepis kenyataan yang ada, Sally memang tak seperti gadis lainnya.” desah Papa.

“Pa…Ma…tersenyumlah untuk kepergian Sally. Sandy yakin, Sally pasti akan bahagia disana, selalu tersenyum dan riang gembira.” hibur Sandy kepada kedua orang tuanya.

”Andai saja penyakit kanker itu tak menimpa adikmu, San.” keluh Mama.

”Ma...sudahlah. Papa saja bisa merelakan kepergian Sally. InsyaAllah Sandy juga. Mama juga ya...tersenyumlah Ma...untuk Sally.”

Mama pun mencoba tersenyum tipis akan kenyataan pahit beberapa tahun silam yang menerpa kehidupan Sally. Tubuh Sally seakan tak mampu bila terkena siraman hujan. Dingin menusuk kalbu dan darah itu mengalir begitu saja dari bibirnya yang mungil. Dan kini, Sally harus terbujur kaku sesuai dengan firasat yang selalu membayanginya kala hujan meniti.

Puisi yang kemarin dibuka Sally kembali, menjadi saksi bahwa firasatnya menjadi kenyataan. Sesuatu yang telah lama mengintai hidupnya seketika muncul dan membuat kehidupannya berakhir. Memang tidak tragis tapi itulah firasat hidup yang kini menyeretnya ke dalam lembah zulmat yang nyata, dalam mendung yang tak lagi datang sesaat.

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...