Berdiri tegar di atas repih luka itu tidaklah mudah. NN
Begitu selesai menuliskan
sepatah kata itu di lembar bisu, Nana mulai meneteskan airmata. Ceruk luka di
hatinya tak mampu membendung lagi airmatanya. Segalanya tumpah ruah, banjir tak
terhingga. Suara ketukan di luar pintu kamarnya pun tak didengarnya. Nana hanya
terus mengurung diri, memenjarakan sepi teramat dalam. Bahkan sinar matahari
cerah tak diizinkannya masuk melalui celah-celah jendela. Apalagi orang-orang
terdekatnya! Satu-satunya yang paling diingini adalah N... Noval!
“Na, Ibu mohon jangan menangis
lagi, sayang. Lupakan semua itu, tak ada gunanya kamu menutup diri. Lagipula Noval
telah memilih jalan hidupnya sendiri. Kamu harus bangkit, sayang. Cuma kamu
yang Ibu punya.”
Nana tak menyahut. Rupanya Ibu
selalu berdiri di balik pintu, berharap Nana segera keluar dan menunjukkan
keceriaannya seperti dulu, setahun yang lalu. Nana menggelengkan kepalanya
kuat-kuat, diteriakkannya kata ‘tidak’ berkali-kali. Tak ada yang sanggup
menghiburnya kecuali Noval. Noval yang terkasih, yang memilih pergi setelah
berhasil menyakitinya dengan sesuatu yang tak pernah Nana inginkan. Noval yang
pertama, yang juga diingininya sebagai yang terakhir. Tempat melabuhkan segala
yang ia punya.
Nana tak peduli. Ia membanting
apa saja yang ada di dekatnya. Meski bunyi barang-barang itu tak lagi sama. Nana
tetap tak peduli. Setelah sekian menit membanting barang, ia membantingkan
dirinya ke lembah kasur yang lapuk, berbekas airmata dan debu. Jelas saja,
sudah setahun tak pernah dibersihkannya. Ia terlalu betah berlama-lama di dalam
kenangan. Ia terlalu cinta kepada Noval, hingga tak pernah dibiarkannya
kenangan pergi begitu saja.
“Bagaimana kabarmu, Val? Aku merindukanmu,
sangat rindu.”
Mrs. Bennet yang sudah lama
menetap di kepalanya mulai mengetuk kepalanya.
“Mrs. Bennet, apa yang harus
kulakukan? Tidakkah kau akan pergi dari kehidupanku?”
“Oh, tidak. Aku tak bisa
membiarkanmu dalam masalah. Aku seorang Ibu yang mempunyai lima putri. Sebagai Ibu,
aku juga memikirkanmu, Nana.”
Miss Elizabeth yang mondar
mandir di tengah kepalanya, tiba-tiba berseru, “Mama, apa yang kau tahu dari
kebahagiaan? Kau hanya memikirkan kesenanganmu saja. Lihatlah Jane, ia
dicampakkan Mr. Bingley.”
“Mr. Bingley memang kaya, Miss
Lizzie.”
“Well, i know that so much. Did you know Noval, Nana?”
“Tentu saja! Kau jangan
seenaknya merendahkanku. Aku tahu betul siapa itu Noval, bagaimana caranya
memperlakukanku. Mungkin pada saat itu, ia hanya tidak siap untuk bersamaku,
berbagi kisah lebih lama denganku. Sedang kau, kau pikir bisa berlama-lama
membenci Mr. Darcy? Hah?!”
Miss Elizabeth meloncat keras,
membuat Nana hampir melayangkan tinju ke kepalanya.
“Kau salah, Nana!” teriak Miss
Elizabeth.
“Apa? Apanya yang salah? Bukankah
kau selalu menghindar dari tatapan itu? Apa kau tak bisa membaca perasaan Mr.
Darcy? Ia pria yang tampan, sebelas dua belaslah dengan Noval. Kalau aku jadi
kau, aku pasti membalas tatapan itu dengan tulus.”
“Aku hanya perlu waktu untuk membiarkan
perasaanku tumbuh. Serupa percaya akan indahnya cinta, bukan kesenangan semata.
Bukankah itu juga yang selama ini kauinginkan dari Noval?”
“Miss Lizzie, ...” Nana tak
meneruskan kalimatnya, sebab hatinya
kembali terluka.
Kata-kata Miss Lizzie memukul
telak ulu hatinya. Ia tak tahu lagi kemana harus mencari labuhan hatinya. Noval
telah pergi, sejauh mungkin. Hanya kenangan, bahkan cerita dalam film Pride and
Prejudice yang jadi film terakhirnya bersama Noval pun selalu menetap di
kepalanya.
Lagi dan lagi, airmata menetes
hingga sekian kali. Basah di kasur, bantal dan guling tak dihiraukannya. Ia
sangat merindukan Noval. Noval yang dicintainya, benar-benar pergi dengan cara yang
tragis setelah tak lama pisah darinya. Noval bunuh diri, menghunuskan tajam
pisau tepat di jantungnya. Noval tak tahan lagi, kehidupannya yang broken home
meruntuhkan kebahagiaannya sendiri ketika mengenal Nana. Bukan salah Nana,
bukan juga kesalahan waktu yang mempertemukan mereka.
*end