Minggu, 27 April 2014

[My Book] Undeclared Love

Alhamdulillah, antologi puisi Undeclared Love akhirnya publish juga. Puisiku 'Untuk Engkau yang Jauh' bisa dibaca di antologi ini. Sila dipesan, kawan-kawan. Happy weekend ya... ^-*

 

Telah terbit di LeutikaPrio!!!
 
Judul : Undeclared Love
Penulis : Susi Retno Juwita, Yara Purnama, Yunita Dwi Indraswari, dkk
Tebal : 114 halaman
Harga : Rp. 29.700,00
ISBN : 978-602-225-839-1
 
Sinopsis:
 
 aku lebih suka memberitahumu,
lewat kata-kata yang mungkin tak bisa kau terjemahkan

bagiku,
itulah kalimat perasaan

dentingnya mungkin tak akan kau dengar
namun sayup bahasaku,
dapatkah kau rasakan?

~Nonik Sastrowihardjo~


Menyesakkan! Ketika kita miliki perasaan cinta namun tak mampu menyampaikannya. Hanya dipendam dan tidak tahu yang harus dilakukan. Menangis? Hanya membuat perasaan itu nyata. Marah? Siapa yang harus disalahkan? Bisakah marah mengurangi perasaan yang ada? Pernah mengalaminya? atau sedang mengalaminya? Jangan membaca buku ini, karena akan membuatmu menangis bersamanya.

Antologi Puisi UNDECLARED LOVE ini berisi 50 puisi cinta yang tak tersampaikan. Ditulis oleh 37 pemenang event Menulis Puisi Undeclared Love yang diselenggarakan oleh LeutikaPrio dalam rangka ulang tahun yang ke 3. Puisi Nonik Sastrowihardjo di atas hanyalah cuplikan dari salah satu puisi dalam buku ini. Masih banyak puisi cinta tak tersampaikan yang akan membuatmu mengenang perasaan itu, atau membuat perasaanmu kembali nyata. 
 
Ps : Buku ini sudah bisa dipesan sekarang via website http://www.leutikaprio.com/produk/11028/kumpulan_puisi/1404996/undeclared_love/14046013/pemenang_event_undeclared_love, inbox Fb LeutikaPrio dengan subjek PESAN BUKU, atau SMS ke 0819 0422 1928. Met Order, all!! ^^v

Sumber : LeutikaPrio

Hadiahku Untukmu

pic from here
Puisi ini didedikasikan untuk penyair favoritku, Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono ^-*

Aku ingin menghadiahimu dengan kata:
seolah bait-bait ini lahir begitu saja
tanpa mengenal apa artinya cinta

Aku ingin menghadiahimu dengan kata:
seolah jiwa ini bebas tanpa nelangsa
walau kelamnya ajari banyak makna

Apakah kamu ingin tahu?
cinta nan sederhana tak semudah bayanganku
terlebih saat hujan bulan juni menyapaku

Apakah kamu juga ingin tahu?
cinta nan sederhana memang memiliki liku
terlebih saat maknanya tak penuhi inginku

Duhai tuan, ini hadiahku untukmu!
tak perlu banyak kata, baca saja tanpa ragu
sebab cinta nan sederhana hanya satu; kamu


@Susi_SmileKitty
#Puisi untuk Penyair Favorit
#PuisiHore3 [8]

Rabu, 23 April 2014

Tetesan Rindu

Dapatkah kukatakan 'aku rindu padamu' ke kamu?
Mungkin itu hanya satu pertanyaan di benakmu
Sedang di sini, di kedalaman hati ini...
Pertanyaan itu berakar, tumbuh seiring tetes hujan di luar sana
Ya, aku rindu padamu!
Aku rindu saat pertama kali kita berjumpa meski tanpa sapa
Aku rindu saat kedua kali kita saling mengenal walau tersipu malu
Aku rindu saat ketiga kali kita mencuri pandang dan tersenyum
Seolah dunia tersita, menyisakan aku dan kamu saja
Aku juga rindu saat keempat kali, kelima kali, bahkan berkali-kali
Entah tak terhitung lagi...
Jadi, dapatkah kukatakan 'aku rindu padamu' ke kamu?

"Hai, puan! Bukankah sudah kau katakan sedari tadi?"

"Ah, iya! Kau benar, aku mengatakannya tanpa sengaja."

Duhai, kasih...
Lihatlah, dengarlah, aku memang rindu padamu
Bahkan isi dalam kepalaku selalu bercerita tentangmu
Mengajakku meliuk, menarikan tetesan rindu
Yang menggema di sepanjang sepi tak bertuan

Minggu, 20 April 2014

Sajak Cerita Cinta

Pada tanah yang basah
Tak sengaja kutarikan rindu bersama tetes hujan
Tersebab sebuah rasa yang tak tersampaikan
Tentang kamu, membayang di celah ingatan

Pada rindu yang desah
Tanyaku enggan terjawab perjalanan waktu
Tak apa, barangkali rel ketakmungkinan memang baku
Tepiskan mimpi, membuih di udara nun jauh

Pada hati yang resah
Tabah rasa mungkin pernah menyusut seketika
Tak ubahnya ego tersulut api amarah
Tebal, diam-diam enggan percaya cerita cinta


sHie
#EmpatElemen
#PuisiHore3 [6]

Kamis, 17 April 2014

Akulah Sang Mata

pic from

Akulah sang mata
Menjaga tiap-tiap rahasia
Entah satu, dua, insan manusia
Baik tentang Adam maupun Hawa

Akulah sang mata
Menatap tajam pada dunia
Baik buruknya, ada tidaknya
Sebab segala yang ada, terasa fana

Akulah sang mata
Terlahir dengan dua jiwa
Sekali waktu, enggan berkaca
Seolah rasa meneriaki seribu logika

Akulah sang mata
Terpenjara dalam lukisan tua
Sedang di kepala, ingatan meraja
Berontak dalam gejolak yang tak nyata

Duhai Adam dan Hawa
Jangan tatap aku dengan sepasang mata
Sebab aku telah menatapmu begitu lama
Sebab akulah sang mata, terjebak satu cerita


sHie
#MemuisikanLukisan
#PuisiHore3 [5]

Rabu, 16 April 2014

You Are The Pirate of My Heart

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Pic from here

Andra, lelaki tambun dengan rambut sebahunya, sibuk menyiapkan seperangkat alat untuk para wisatawan yang berkunjung. Entah itu untuk family, sepasang muda mudi atau anak-anak yang hendak bermain sesuka hati. Aku memperhatikannya seraya membersihkan bantal-bantal di sebuah pondok, mengintip melalui celah-celah kayu atau daun yang menghalangi jarak pandangku.
            Tugasku memang tak terlalu berat seperti Andra. Di waktu senggang, aku malah ingin membantunya. Kebetulan, hari ini kami memang banyak orderan. Ada tiga tamu yang memesan Pirates Quarters. Meski begitu, kami tak boleh berleha-leha tanpa sengaja. Kami, sebagai pelayan di The Pirates Bay harus siap siaga sesuai jadwal kerja.
            “Hai, Dian. What’s on your mind?
            “Hah? What?
            Aku mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Mr. Mike rupanya memergokiku dari lantai bawah. Seketika, aku menoyor jidatku sendiri dan bergumam sesuatu yang mungkin terdengar oleh Mr. Mike.
            “Dian. Lakukan tugasmu dulu, oke?”
            “Oh, oke, Mr. Mike.”
            Perintah Mr. Mike yang tegas itu benar-benar membuatku sadar. Ah, alangkah bodohnya aku! Pekerjaan paruh waktu yang kulakukan ini harusnya tak boleh kusia-siakan dengan memikirkan Andra yang belum tentu memikirkanku.
            “Go, go, go. Dian pasti bisa!”
            Kutepuk-tepuk bantal bulat besar bersarung merah hati yang terletak di tengah pondok. Begitu seterusnya hingga tak tersisa debu yang menempel. Aku jadi ingat kejadian beberapa bulan yang  lalu, saat Andra belum diangkat menjadi ‘Pirate’, atau tepatnya pelayan yang menjelaskan tentang aktivitas di The Pirates Bay, Bali. Saat itu, kami sama-sama ditugaskan untuk membereskan Pirates Quarters. Kami bersenda gurau di tengah-tengah waktu senggang dengan saling menimpuk bantal. Tawa girang kami akhirnya ketahuan oleh Mr. Mike dan saat kami selesai dimarahi Mr. Mike, kami melempar senyum penuh bahagia.
            “Dian! Diaaan!” teriak sebuah suara.
            Aku celingak celinguk mencarinya.
            “Dian, di sini, di belakangmu. Are you okay?” tegur Echi, asisten Mr. Mike, dari pondok pertama yang telah kubersihkan. Sebagai asisten, Echi tentu bertugas mengawasi setiap karyawan. Hanya saja, ia tak setegas Mr. Mike. Echi sudah seperti keluarga bagiku.
            “Eh, Echi. Ya, ya, i’m okay.”
            “Terus, kenapa kamu ngelamun? Ngelamunin Andra, ya?”
            “Pelan sedikit kenapa sih?” desisku. “Nanti ketahuan sama Mr. Mike.”
            “Yeee, bilang aja takut ketahuan sama Andra.”
            “Bukan begitu. Kau tentu mengerti, Chi. Ini semua sudah berbeda, tak sama seperti dulu lagi.”
            “Kau sudah selesai belum membereskan Pirates Quarters di situ?” tanya Echi.
            “Oh, sudah.”
`           “Oke, sebentar lagi Echi ke situ. Wait a minute, Dian.”
            Kuanggukkan kepala lalu menunggunya menaiki tangga di pondok kedua.
            Tak sampai satu menit, Echi telah berada di sampingku. Berdiri di dekat pohon kayu besar tak jauh dari tepi tangga.
            “Dian, mau sampai kapan kau simpan perasaan itu?”
            “Entahlah, Chi. Andra telah benar-benar membajak hatiku. Aku tak bisa mengatakannya.”
            “Hah, kau ini!” Echi membuang muka, menatap laut biru di kejauhan sana.
            Tanpa sengaja, kuambil sebuah bantal bulat kecil dan memeluknya erat. Kubayangkan bantal itu sebagai Andra. Kalau sudah seperti itu, perasaanku menjadi tak tentu rudu.
            “Dian, apa harus Echi yang menyampaikannya ke Andra?”
            “Maksudnya, Chi?”
            “Kau tahu, di antara tiga tamu hari ini, ada seseorang yang begitu dinanti Andra. Katanya, teman lama yang pernah mengisi relung jiwanya.”
            “Yang benar, kamu, Chi?”
            “Kalau tak percaya, tanya saja langsung ke Andra.”
            Aku diam, mematung, memandang matahari yang akan naik ke singgasananya. Menebar sinar cerah namun tak secerah hatiku saat ini. Pernyataan Echi mengusik ingatanku, tapi hanya sepotong-potong bagai puzzle yang enggan bersatu. Semakin aku mengingatnya, kepalaku semakin terasa berat.

~ ~ ~

“Dian, nanti setelah pulang kerja, kamu ada waktu?”
            Setelah sekian lama berkutat dengan tugas masing-masing, akhirnya Andra menyapaku di waktu senggangnya.
            “Tumben kamu tanya begitu, Ndra. Ada apa?”
            “Aku pengin kita mengenang masa dulu. Ah, tapi kamu pasti belum mengingatnya.”
            Kucerna kata-kata Andra yang mampir di gendang telingaku. Tapi kamu pasti belum mengingatnya. Apa maksudnya, ya?
            Karena tak ingin berdebat panjang lebar, aku menjawab sekenanya. Nanti, pasti akan kuketahui apa makna kata Andra.
            “Baiklah. Di mana?”
            “Di kapal. Bisa, kan, ya?”
            Aku tak menjawab. Tapi anggukan kecil di kepalaku pasti terlihat oleh Andra. Ia menyunggingkan senyumnya.
            Setelah pertemuan singkat itu, kepalaku dipenuhi pikiran-pikiran aneh. Mulai dari pernyataan Echi tadi pagi tentang seseorang yang pernah mengisi relung jiwa Andra, sampai ke kenangan masa dulu yang diutarakan Andra. Aku benar-benar bingung, siapa sebenarnya seseorang itu? Sudah pasti, ia adalah seorang wanita. Tapi, siapa? Lalu, apa maksudnya kenangan masa dulu? Apa ada hubungannya dengan seseorang yang akan ditemuinya? Ah, entahlah!

~ ~ ~

Kulirik jam tangan Channel putih di tangan kiriku. Setengah lima lewat lima. Matahari telah berpindah tempat, hendak digantikan bulan lambat-lambat. Sementara itu, sinar jingganya menyilaukan mata. Tapi tetap saja, jika berada di Nusa Dua, sinar jingga senja adalah satu-satunya hal terindah.
            “Gimana? Apa kamu mengingat sesuatu?” sapa Andra.
            “Andra. Tentu saja. Waktu itu, sebelum kamu dinobatkan menjadi ‘Pirate’, kita pernah bermain di tepi pantai Nusa Dua.”
            “Bukan, bukan itu.”
            “Lalu, apa? Aku tak mengerti.”
            “Baiklah. Tunggu sebentar, ya. Akan kubawakan seseorang untuk mengingatkanmu tentang semua itu.”
            Dalam hitungan detik, berdirilah seorang wanita yang sama sekali tak pernah ingin kulihat wajahnya. Jelas aku mengingatnya, ialah Netri, wanita perebut cinta masa kecilku. Tak banyak yang berubah dari wajahnya. Hanya saja, badannya terlihat kurus dan matanya sayu seperti orang yang sedang mengalami sakit berat.
            “Hai, Di. A-apa ka...,” belum sempat Netri meneruskan salamnya, aku memotong lebih dulu.
            “Jadi, wanita ini yang pernah mengisi relung jiwamu, yang akan kau kenalkan padaku. Apa arti semua ini, Ndra?”
            Aku hendak berlari saat mereka berdua tak menggubris perkataanku. Tapi satu sentakan Andra menghentikan langkahku.
            “Di, dengar dulu. Ini tak seperti yang ada dalam pikiranmu.”
            “Kamu tahu apa tentang pikiranku, Ndra? Selama ini, selama ini, aku selalu menyimpan rapat-rapat perasaanku. Tapi hari ini, rasanya aku mau gila!”
            “Kata itu juga yang pernah kamu ucapkan sewaktu dulu. Ya, kan?”
            Bagai tersambar petir, kepingan memori berjejer mengutuhkan puzzle yang sedari tadi enggan bersatu. Hari itu, di tepi pantai Nusa Dua, aku, pria bernama Andra juga, dan Netri terlibat pertengkaran sengit. Aku marah, memberontak, tak terima pada kenyataan. Andra yang kusuka direbut oleh Netri, sahabatku sendiri.
            Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. Aku tak mau menjadi gila. Tapi, apakah kejadian dulu akan terulang kembali? Oh, tidak! Aku tak bisa jika harus merasakan kehilangan seperti ini.
            “Di, Netri kesini ingin meminta maaf padamu. Lagipula, apa kamu benar-benar lupa sama aku?”
            “Kamu? Kamu, Andra.”
            “Andra Prasetya. Andra masa kecilmu, Di.”
            “Ap-apa?! Nggak, nggak mungkin kamu Andra Prasetya. Andra Prasetya itu....”
            “Andra Prasetya itu putih, gemuk, tapi rapi dan wangi, kan? Tapi... Andra yang sekarang, Andra yang di depanmu, udah nggak putih lagi, udah nggak gemuk lagi.”
            Perlahan, kutatap wajah Andra di depanku. Tatapan matanya masih sama seperti yang dulu, cokelat tua yang teduh. Samar-samar, potongan puzzle itu kembali menyatu, menyeruak dadaku. Apa yang kuharapkan dari pertemuan ini?
            “Di, apa kamu ingat surat-surat yang pernah kamu tulis untukku?”
            “Surat?”
            “Bukankah tiap tahun kamu selalu melakukannya?”
            Andra mengeluarkan sebuah kotak yang disimpannya di dalam kapal. Entah bagaimana, aku merasa harus percaya padanya. Di dalam kotak itu, terdapat berlembar-lembar surat yang menyatakan perasaanku. Aku menaruh surat itu di dalam botol, menghanyutkannya di pantai Nusa Dua saat senja hampir berakhir. Tapi malangnya, aku tak pernah benar-benar menyaksikan surat itu hanyut terbawa arus pantai.
            Kini, surat di dalam kotak milik Andra, menjadi bukti bahwa ia memang pembajak hati. Meski aku sangsi, sebab Netri seolah tak merelakan Andra menjadi milikku hingga nanti.
            “Di? Diandra?” panggil Netri seketika.
            “Hah? Diandra? Dari mana kamu tau nama singkatan itu?”
            “Dari Andra. Dia sering cerita ke aku, dan aku sadar setelah kamu pergi meninggalkan kami waktu dulu. Seharusnya, aku tak berani melakukan hal itu. Terlebih, kamu adalah sahabatku.”
            “Lalu?”
            “Aku minta maaf, Di. Aku menyesal.”
            “Kenapa baru sekarang kamu bicara menyesal?”
            “Udah, Di. Kasihan, Netri. Dia lagi sakit. Ada baiknya kita semua mengambil pelajaran dari semua yang pernah terjadi. Lagipula, aku perhatikan, kamu udah banyak berubah, Di.”
            “Tapi, kebahagiaanku?”
            “Bukankah kebahagiaan bisa kamu ciptakan sendiri, Di? Harusnya kamu juga sadar setelah tahun-tahun ketakmungkinan kita. Harusnya aku jujur saja waktu pertama kali kita jumpa di Nusa Dua, sebagai pelayan di The Pirates Bay.”
            “Kamu..., aku harus bilang apa?”
         “Nggak ada yang harus kamu bilang, Di. Yang ada, serahkan saja hatimu padaku. Karena akulah pembajak hatimu. Begitu yang kamu mau, kan?”
            “Kamu curang. Kamu membaca semua isi suratku.”
            “Setidaknya, itu bisa membuatmu tersenyum. Aku bahagia jika kamu bahagia, Di. Diandra. Dian dan Andra.”
            Tanpa banyak kata maupun tanya, senyumku memang lepas begitu saja. Dan harus kuakui, aku telah memaafkan Netri begitu lama, meski memandang wajahnya menyisakan guratan luka. Ah, andai saja waktu bisa kuputar kembali ke sebuah masa. Tapi sudahlah. Seperti kata Andra, seharusnya kebahagiaan bisa diciptakan sendiri di tiap-tiap jiwa.
            “Andraaa, you are the pirate of my heart!” teriakku pada senja yang hampir berakhir.

~ The end ~

Minggu, 13 April 2014

Kidung Pagi

pic from favim.com

Kemarilah, kasih...
Menyatu bersama kanvas putih

Semesta takkan biarkanmu sendiri dalam sepi
Bukankah bersama lebih baik walau kadang hatimu begitu kalut tanpa henti

Kemarilah, kasih...
Menyatu bersama kanvas putih

Air matamu tak boleh jatuh melewati pipi
Sebab ia terlalu berharga bagi seseorang yang tak pantas kautangisi

Kemarilah, kasih...
Menyatu bersama kanvas putih

Semesta pasti akan selalu mengerti apa yang terjadi
Bukalah hatimu untuk melihat lebih dalam lagi, yang dahulu telah berakhir kini

Kemarilah, kasih...
Menyatu bersama kanvas putih

Air matamu hanyalah penghias dari sebuah kata pergi
Sebab itu, lihatlah aku di sini, melengkungkan senyum serupa pelangi

Kemarilah, kasih...
Menyatu bersama kanvas putih

Semesta hidupmu akan kudekap bak pengisi hati
Bukankah lebih baik begini, tersenyum menyambut kasih putih pada pagi


sHie
#Perenungan
#PuisiHore3 [4]

Kamis, 10 April 2014

Potret Senyawa Kasih

Duhai kasih...

Apa rasanya jatuh cinta tanpa kasih?

Terhalang celah-celah jeruji besi


 sHie
#PuisiTulisTangan
#PuisiHore3 [3]

Minggu, 06 April 2014

Rinduku Kamu

Rona merah jambu menyapaku
Isyaratkan getar rindu di titian kalbu
Nyanyikan basah hati teramat syahdu
Dan perlu kamu tahu bahwa dinding hati tak selamanya beku
Umpama batu ditetesi hujan terus menerus tak kenal waktu

Kamu, ya... kamu!
Usik saja aku dengan ingatan biru

Kadar maupun radar sudah tak terhitung ribu
Aku merindukanmu, duhai tuan pencuri hatiku
Manakala getar rindu dan basah hati sampai kepadamu
Usah kamu ragu sebab rinduku kamu, rinduku kamu

sHie
#PuisiAkrostik
#PuisiHore3 [2]

Sabtu, 05 April 2014

Senandung Jodoh Takkan Kemana

Jodoh memang takkan kemana
Tapi aku tak ingin bila ada yang terluka
Pabila jodoh hanya dijadikan ajang memaknai rasa

Jodoh, satu kata sirat tanya
Manakala dua hati dipertemukan satu nada
Percayakah kekuatan jodoh memang takkan kemana?

Ah, entahlah...
Biar saja kalbu yang berbahasa
Menyenandungkan rona-rona cinta

Sebab hati takkan ingkar bila memang iya
Dan mungkin jodoh memang takkan kemana
Bila takdir telah benar-benar terjawab oleh Sang Maha Cinta

~~~♡

Jumat, 04 April 2014

Hilang

Hilang, mungkin karena aku memang membosankan
Tak ubahnya bibir tanpa suara
Lidah kelu tanpa kata

Hilang, mungkin karena aku memang tak layak dipandang
Tak ubahnya hati tanpa rona-rona
Luka tersebab 'rasa'

Hilang, dan mungkin aku kan benar-benar hilang
Ditelan malam tak berteman bintang
Sedang pekatnya begitu membayang

Hilang, dan mungkin terbang tak kenal tujuan
Entah kepada angin malam berkepanjangan
Atau kamu di persimpangan jalan

Kamis, 03 April 2014

Teriak Dada

Ada yang terlupa, pada satu masa
di kedalaman dada.

Ada yang tersiksa, kala ingatan meraja
perjuangan tokoh bangsa.

Ada yang bungkam dan hilang, ditelan perubahan zaman
meski cabikannya terbayang.

Ada yang terlupa, tersiksa, bungkam, dan  hilang bagai pengkhianatan
sedang dalam dada berteriak penolakan.

sHie
#MenolakLupa
#PuisiHore3 [1]

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...