Gadis itu lagi.
Setiap senja selalu saja duduk manis di tepi danau Singkarak
yang memantulkan bayangannya. Aku tak tahu harus memanggilnya dengan panggilan
apa. Lalu kunamai saja, Senja. Seperti kehadirannya di setiap senja. Ia tak
pernah kenal cuaca. Entah itu panas. Entah itu hujan. Entah itu biasa-biasa
saja. Ia selalu duduk manis di tepi danau.
Wajahnya memang tak asing lagi, jelas saja karena ia
adalah warga Singkarak. Matanya yang cokelat terlihat kosong, menatap
dalam-dalam pada danau biru itu. Sesekali ia memainkan air, menenggelamkan batu
yang ada di dekatnya, lalu berteriak, “jangan tinggalkan aku!” Kemudian
menangis tersedu-sedu seperti kehilangan sesuatu.
Aku tak pernah mengerti apa arti teriakannya. Ingin
mendekatinya tapi langkahku terpatri disini. Ingin mengajaknya bermain tapi
takut bila ia menenggelamkanku seperti batu itu. Ah, maafkan aku, Gadis. Ini
hanya pikiran burukku. Aku tak punya keberanian untuk menemanimu di setiap
senja. Seperti senja hari ini. Senja yang berlalu begitu saja.
“Apa yang kau lakukan disini?”
Suara seorang pria dari arah belakang mengejutkan
lamunanku. Aku tak tahu apa yang membuatnya tiba-tiba bertanya padaku. Aku juga
tak tahu apa ia memperhatikanku sedari tadi. Lalu kujawab saja apa adanya.
“Menikmati senja. Sendiri.”
“Tak ingin bersamaku?”
“Oh, baiklah jika kau menginginkannya. Tapi senja
telah berlalu.”
“Tak apa. Aku akan menemanimu.”
“Kurasa, aku memang membutuhkan teman.”
“Mengapa kau bicara seperti itu? Seolah tak punya
teman saja.”
“Memang. Kita ini kan bukan warga Singkarak.”
“Ya. Aku tahu. Lalu apa yang kau lihat?”
“Aku melihat seorang gadis, mungkin saja mau menjadi
temanku. Tapi sayang, dia sudah pergi. Aku tak bisa melihatnya lagi.”
“Apa maksudmu gadis bermata cokelat yang selalu duduk di
tepi danau?”
“Iya. Dia sangat manis, bukan?”
“Memang. Tapi dia juga pahit. Sangat pahit.”
“Darimana kau tahu itu?”
“Tak penting darimana aku tahu. Yang pasti, aku tahu
tentang dia.”
“Baiklah. Tapi menurutku, bukankah dua hal yang
berbeda terlihat bagus jika digabungkan?”
“Harusnya iya. Tapi dia tak pernah menggabungkannya.
Belakangan ini saja dia baru menyadarinya.”
Pernyataan pria ini benar-benar membuatku penasaran. Berpikir
bahwa ia memang kenal dengan gadis itu dari dulu. Mungkinkah mereka sepasang
kekasih? Ah, sudah pasti jawabannya iya. Dari rautnya yang terlihat kesal,
menunjukkan tanda itu. Tanda bahwa ia ingin bersama si gadis.
“Mungkin dia tak disetujui. Mungkin juga, banyak
alasan yang tak sempat diutarakannya padamu.”
Aku berkomentar, sekedar memancingnya.
“Aku sudah memberikannya waktu 3 jam, bahkan lebih.
Tapi dia datang di menit-menit terakhir saat aku memutuskan berlayar di hari lebaran
Jumat itu. Hari yang menyebabkan aku terkurung disini. Kalau saja dia datang
lebih awal, mungkin aku masih bisa melihatnya, berbicara padanya. Dan tak harus
mendengar kalimat yang sama tiap dia datang, kalimat jangan tinggalkan aku.”
Aku jadi teringat peristiwa di hari lebaran Jumat itu.
Peristiwa yang membuatku ada disini, saat kapal yang kutumpangi tenggelam. Saat
aku juga lari dari kenyataan, tak mendengarkan petuah nenekku beberapa jam
lebih cepat. Aku bahkan tak ditemukan hingga sekarang, mendekap bersama pria
ini, dan juga warga lain yang bukan warga Singkarak. Menetap dalam danau yang
gaib.
..::.. words: 486 ..::..
Quote: Better three hours too soon than a minute too late. ~ William Shakespeare
Inspirasi: Cerita Mistik Mendiami Danau Singkarak dan Peristiwa Gaib di Danau Singkarak
Inspirasi: Cerita Mistik Mendiami Danau Singkarak dan Peristiwa Gaib di Danau Singkarak
Kenapa gue jadi tersesat di jalan cerita, ea? Bentar... Bentar, mending gue baca ulang, deh! ;-)
BalasHapusSepertinya Bg Eksak gak tersesat. Aku aja yg sesat buat ceritanya. Masih ada yg kurang. :(
Hapuskakak....aku bingung... :(
BalasHapusAku juga bingung. Udah diperbaiki, tapi gak tau ya... apa malah tambah buat bingung? :(
Hapuscerita misteri yang dibuat manis :)
BalasHapusTerima kasih, miss :)
HapusSaya ngerti kok ceritanya. Bagus.. :)
BalasHapusTerima kasih, mbak :)
Hapus