Sabtu, 23 Maret 2013.
Pukul 20.00 WIB. Aku telah selesai mandi, lalu kuoleskan alas bedak di
wajahku. Tak lupa pula, bedak dan perlengkapan kosmetik lainnya seperti; lipstik,
blush on, eyeshadow, eyeliner, parfum,
dan lainnya. Semua itu telah melekat dalam keseharianku. Dan kini, aku tinggal
memakai pakaian yang cocok dengan riasanku. Aku pasti kelihatan lebih cantik dari
yang lain. Dan, pria-pria itu pasti terpesona dengan kecantikanku. Karena mataku,
selalu memancarkan kilau itu. Biru, ya... mataku berwarna biru seperti
mata-mata orang bule. Mungkin benar, aku memang anak bule. Tapi bule darimana,
aku tak tahu. Ibu tak pernah menceritakannya padaku. Ibu juga tak tahu mata
biru itu milik siapa.
Pukul 21.00 WIB. Alarm di ponselku telah berdering
beberapa menit yang lalu. Menandakan bahwa waktunya telah tiba, dan aku siap untuk
berangkat kerja. Mencari recehan uang dari lelaki hidung belang. Entahlah, aku
tak memikirkan asal usul mereka. Aku cuma perlu uang, uang dan uang. Uang yang
membuatku lebih dihargai. Meski jujur, aku tak suka dengan caraku mendapatkan
uang tersebut. Tapi apa boleh buat? Inilah kisahku.
Tiap malam, aku selalu pergi ke markas para wanita
cantik. Dengan dandanan yang tak terlalu menor dan pakaian yang minim. Pun,
bahan yang pas di badan alias ketat sehingga memperlihatkan kesan seksi saat
pandangan pertama. Awalnya aku tak pernah ingin berkecimpung dengan dunia ini.
Dunia yang bagiku terlalu kotor. Dan jujur, semakin aku terjun di dalamnya, aku
semakin merasa kotor dan tak pernah bersih apalagi suci.
Ya Tuhan, salahkah jika aku begini? Perlahan, air mataku
tumpah. Aku sudah tak tahan lagi. Satu, dua lelaki mungkin pernah menyukaiku.
Tapi tak jarang, ada juga yang tak suka. Kalau aku boleh jujur... aku juga tak
suka. Aku ini laki-laki, sama seperti mereka. Cuma saja, parasku memang cantik.
Cantik seperti wanita kebanyakan. Bahkan, mungkin wanita-wanita yang
menjajakkan dirinya merasa iri padaku.
Pukul 21.12 WIB. Aku terlena dengan pikiranku. Seharusnya
aku sudah berangkat sedari tadi. Lalu, dengan langkah terburu-buru, aku pergi
meninggalkan kamar kosku. Ya, aku memang tinggal sendiri setelah ibu meninggalkanku.
Aku tak mengenal siapa-siapa di kota besar ini. Yang aku kenal, cuma salah satu
teman ibuku yang bekerja di sebuah pub. Ibu tentu saja berpesan padaku sebelum
ia benar-benar pergi untuk selamanya. Dan disinilah aku, di sebuah pub yang
selalu buka kala malam menjelang.
Pukul berapa, aku lupa. Tapi satu yang kuingat, aku
bertemu dengan salah satu pelanggan yang membuatku tersipu malu. Sebut saja
namanya Pram. Ia lelaki yang lembut. Ia tak ingin menyakitiku apalagi
meraba-raba atau seperti yang biasa dilakukan oleh lelaki lain. Ia juga tak
ingin aku melayaninya dengan hal-hal semacam itu. Ia malah memintaku untuk
menemaninya berbincang-bincang. Kuakui, Pram memang berbeda. Sekonyong-konyong,
ada sesuatu yang terasa mengalir begitu deras dalam darahku. Perasaan yang tak
tahu harus kunamai apa.
Sabtu, 30 Maret 2013.
Pukul 22.30 WIB. Aku bertemu lagi dengan Pram. Pram pun
seolah tak ingin dilayani oleh wanita lain. Aku tentu saja senang, selain ia
memperlakukanku lembut, ia juga tak kurang ajar. Perlahan tapi pasti, aku mulai
menyukainya. Salahkah perasaanku ini? Walaupun kami baru bertemu dua hari di
hari Sabtu, tapi entah kenapa rasanya seperti sudah lama pernah bertemu. Aku senang
bila ia berbicara panjang lebar padaku. Menceritakan kisah hidupnya yang terasa
hampa tanpa pendamping. Sementara aku… aku tak tahu harus darimana kuceritakan
kisah hidupku padanya. Aku juga ingin mempunyai pendamping, tapi apakah ia mau
menerimaku kalau ternyata ia tahu tentang kondisiku? Pun, pada waktu yang
mungkin menyambut perasaanku pada perasaannya? Entahlah.
***
“Mulan, kamu lagi sibuk nggak?”
“Tidak, Pras. Aku tak sibuk kalau hari Sabtu begini. Waktuku
akan selalu ada untukmu.”
“Temani aku ngobrol seperti biasa, bisa kan?”
“Tentu saja. I’m
ready for you, Pras.”
“Kamu itu! Aku udah pernah bilang jangan ngomong
seperti itu kalau denganku. Kalau dengan lelaki lain, terserah apa katamu.”
“Pras, ini sudah tugasku.”
“Apa mereka tahu tentang perasaanmu yang sebenarnya?”
“Maksudmu?”
Pras mengeluarkan sebuah kotak dari dalam tasnya. Isinya
tak bisa kutebak.
“Maaf, Mulan. Aku nggak sengaja menemukan bukumu di
jalan. Kupikir, lebih baik kukembalikan padamu. Maaf juga, Mulan. Aku nggak
sengaja membaca beberapa halaman yang kamu tulis. Aku tahu aku salah, aku cuma ingin
tahu kamu lebih dalam. Tapi ternyata….”
“Ya, kamu berhak tahu, Pras. Aku memang bukan wanita. Aku
sama sepertimu. Tapi perasaanku padamu terbentuk secara alami. Aku juga tak
mengerti, apakah perasaan ini terpengaruh dengan kondisiku yang tak seharusnya
kuceritakan padamu?”
“Maksud Mulan apa?”
Aku membisikkan sesuatu kepada Pras. Jujur, aku tak
ingin orang-orang yang ada di pub tahu akan kondisiku. Bagiku, biarlah mereka
mengenalku sebagai wanita.
“Mulan, kalau memang begitu… bukalah kotak ini!”
Aku membukanya pelan-pelan. Tak kusangka, bukan hanya
buku harianku yang ada disana melainkan ada juga sebuah gaun indah berwarna
silver. Apa ini artinya waktuku menjadi laki-laki sudah berakhir?
“Pras, ini….”
“Iya, itu gaun buatmu. Aku tahu banyak tentang
perasaan yang kamu alami. Itu wajar saja. Apa aku boleh meminta satu hal
padamu? Tak perlu jawab sekarang, aku cuma perlu jawaban yang jujur dari
hatimu.”
“Apa itu, Pras?”
“Menjadi TG* memang nggak mudah, Mulan. Tapi aku yakin
kalau kamu bisa. Terlebih… jika kamu memang mau, aku bersedia membayar biaya
operasi GK*mu. Seperti yang kamu bisikkan padaku tadi. Bagaimana?”
“Pras, aku tak tahu harus bilang apa. Aku senang malam
ini. Terima kasih ya karena kamu membalas perasaanku.”
“Tentu saja, Mulan. Lelaki mana yang tidak tergoda
dengan kecantikanmu. Meski nama aslinya mungkin bukan Mulan.”
“Melainkan Mufti Lando.”
Kami tertawa. Lebih tepatnya menertawakan kujujuran
yang telah terungkap. Kejujuran yang berbuah manis. Dan memang benar, kejujuran
pasti akan berakhir indah walau awalnya terasa sakit.
#IWriteToInspire for #14DaysofInspiration ~ Honesty
(Kejujuran)
*TG >> Trandsgender
*GK >> Ganti Kelamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No comment - No cry
Meskipun komenmu sangat kuhargai disini :')