Rabu, 16 April 2014

You Are The Pirate of My Heart

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Proyek Menulis Letters of Happiness: Share your happiness with The Bay Bali & Get discovered!
Pic from here

Andra, lelaki tambun dengan rambut sebahunya, sibuk menyiapkan seperangkat alat untuk para wisatawan yang berkunjung. Entah itu untuk family, sepasang muda mudi atau anak-anak yang hendak bermain sesuka hati. Aku memperhatikannya seraya membersihkan bantal-bantal di sebuah pondok, mengintip melalui celah-celah kayu atau daun yang menghalangi jarak pandangku.
            Tugasku memang tak terlalu berat seperti Andra. Di waktu senggang, aku malah ingin membantunya. Kebetulan, hari ini kami memang banyak orderan. Ada tiga tamu yang memesan Pirates Quarters. Meski begitu, kami tak boleh berleha-leha tanpa sengaja. Kami, sebagai pelayan di The Pirates Bay harus siap siaga sesuai jadwal kerja.
            “Hai, Dian. What’s on your mind?
            “Hah? What?
            Aku mengernyitkan dahi tanda tak mengerti. Mr. Mike rupanya memergokiku dari lantai bawah. Seketika, aku menoyor jidatku sendiri dan bergumam sesuatu yang mungkin terdengar oleh Mr. Mike.
            “Dian. Lakukan tugasmu dulu, oke?”
            “Oh, oke, Mr. Mike.”
            Perintah Mr. Mike yang tegas itu benar-benar membuatku sadar. Ah, alangkah bodohnya aku! Pekerjaan paruh waktu yang kulakukan ini harusnya tak boleh kusia-siakan dengan memikirkan Andra yang belum tentu memikirkanku.
            “Go, go, go. Dian pasti bisa!”
            Kutepuk-tepuk bantal bulat besar bersarung merah hati yang terletak di tengah pondok. Begitu seterusnya hingga tak tersisa debu yang menempel. Aku jadi ingat kejadian beberapa bulan yang  lalu, saat Andra belum diangkat menjadi ‘Pirate’, atau tepatnya pelayan yang menjelaskan tentang aktivitas di The Pirates Bay, Bali. Saat itu, kami sama-sama ditugaskan untuk membereskan Pirates Quarters. Kami bersenda gurau di tengah-tengah waktu senggang dengan saling menimpuk bantal. Tawa girang kami akhirnya ketahuan oleh Mr. Mike dan saat kami selesai dimarahi Mr. Mike, kami melempar senyum penuh bahagia.
            “Dian! Diaaan!” teriak sebuah suara.
            Aku celingak celinguk mencarinya.
            “Dian, di sini, di belakangmu. Are you okay?” tegur Echi, asisten Mr. Mike, dari pondok pertama yang telah kubersihkan. Sebagai asisten, Echi tentu bertugas mengawasi setiap karyawan. Hanya saja, ia tak setegas Mr. Mike. Echi sudah seperti keluarga bagiku.
            “Eh, Echi. Ya, ya, i’m okay.”
            “Terus, kenapa kamu ngelamun? Ngelamunin Andra, ya?”
            “Pelan sedikit kenapa sih?” desisku. “Nanti ketahuan sama Mr. Mike.”
            “Yeee, bilang aja takut ketahuan sama Andra.”
            “Bukan begitu. Kau tentu mengerti, Chi. Ini semua sudah berbeda, tak sama seperti dulu lagi.”
            “Kau sudah selesai belum membereskan Pirates Quarters di situ?” tanya Echi.
            “Oh, sudah.”
`           “Oke, sebentar lagi Echi ke situ. Wait a minute, Dian.”
            Kuanggukkan kepala lalu menunggunya menaiki tangga di pondok kedua.
            Tak sampai satu menit, Echi telah berada di sampingku. Berdiri di dekat pohon kayu besar tak jauh dari tepi tangga.
            “Dian, mau sampai kapan kau simpan perasaan itu?”
            “Entahlah, Chi. Andra telah benar-benar membajak hatiku. Aku tak bisa mengatakannya.”
            “Hah, kau ini!” Echi membuang muka, menatap laut biru di kejauhan sana.
            Tanpa sengaja, kuambil sebuah bantal bulat kecil dan memeluknya erat. Kubayangkan bantal itu sebagai Andra. Kalau sudah seperti itu, perasaanku menjadi tak tentu rudu.
            “Dian, apa harus Echi yang menyampaikannya ke Andra?”
            “Maksudnya, Chi?”
            “Kau tahu, di antara tiga tamu hari ini, ada seseorang yang begitu dinanti Andra. Katanya, teman lama yang pernah mengisi relung jiwanya.”
            “Yang benar, kamu, Chi?”
            “Kalau tak percaya, tanya saja langsung ke Andra.”
            Aku diam, mematung, memandang matahari yang akan naik ke singgasananya. Menebar sinar cerah namun tak secerah hatiku saat ini. Pernyataan Echi mengusik ingatanku, tapi hanya sepotong-potong bagai puzzle yang enggan bersatu. Semakin aku mengingatnya, kepalaku semakin terasa berat.

~ ~ ~

“Dian, nanti setelah pulang kerja, kamu ada waktu?”
            Setelah sekian lama berkutat dengan tugas masing-masing, akhirnya Andra menyapaku di waktu senggangnya.
            “Tumben kamu tanya begitu, Ndra. Ada apa?”
            “Aku pengin kita mengenang masa dulu. Ah, tapi kamu pasti belum mengingatnya.”
            Kucerna kata-kata Andra yang mampir di gendang telingaku. Tapi kamu pasti belum mengingatnya. Apa maksudnya, ya?
            Karena tak ingin berdebat panjang lebar, aku menjawab sekenanya. Nanti, pasti akan kuketahui apa makna kata Andra.
            “Baiklah. Di mana?”
            “Di kapal. Bisa, kan, ya?”
            Aku tak menjawab. Tapi anggukan kecil di kepalaku pasti terlihat oleh Andra. Ia menyunggingkan senyumnya.
            Setelah pertemuan singkat itu, kepalaku dipenuhi pikiran-pikiran aneh. Mulai dari pernyataan Echi tadi pagi tentang seseorang yang pernah mengisi relung jiwa Andra, sampai ke kenangan masa dulu yang diutarakan Andra. Aku benar-benar bingung, siapa sebenarnya seseorang itu? Sudah pasti, ia adalah seorang wanita. Tapi, siapa? Lalu, apa maksudnya kenangan masa dulu? Apa ada hubungannya dengan seseorang yang akan ditemuinya? Ah, entahlah!

~ ~ ~

Kulirik jam tangan Channel putih di tangan kiriku. Setengah lima lewat lima. Matahari telah berpindah tempat, hendak digantikan bulan lambat-lambat. Sementara itu, sinar jingganya menyilaukan mata. Tapi tetap saja, jika berada di Nusa Dua, sinar jingga senja adalah satu-satunya hal terindah.
            “Gimana? Apa kamu mengingat sesuatu?” sapa Andra.
            “Andra. Tentu saja. Waktu itu, sebelum kamu dinobatkan menjadi ‘Pirate’, kita pernah bermain di tepi pantai Nusa Dua.”
            “Bukan, bukan itu.”
            “Lalu, apa? Aku tak mengerti.”
            “Baiklah. Tunggu sebentar, ya. Akan kubawakan seseorang untuk mengingatkanmu tentang semua itu.”
            Dalam hitungan detik, berdirilah seorang wanita yang sama sekali tak pernah ingin kulihat wajahnya. Jelas aku mengingatnya, ialah Netri, wanita perebut cinta masa kecilku. Tak banyak yang berubah dari wajahnya. Hanya saja, badannya terlihat kurus dan matanya sayu seperti orang yang sedang mengalami sakit berat.
            “Hai, Di. A-apa ka...,” belum sempat Netri meneruskan salamnya, aku memotong lebih dulu.
            “Jadi, wanita ini yang pernah mengisi relung jiwamu, yang akan kau kenalkan padaku. Apa arti semua ini, Ndra?”
            Aku hendak berlari saat mereka berdua tak menggubris perkataanku. Tapi satu sentakan Andra menghentikan langkahku.
            “Di, dengar dulu. Ini tak seperti yang ada dalam pikiranmu.”
            “Kamu tahu apa tentang pikiranku, Ndra? Selama ini, selama ini, aku selalu menyimpan rapat-rapat perasaanku. Tapi hari ini, rasanya aku mau gila!”
            “Kata itu juga yang pernah kamu ucapkan sewaktu dulu. Ya, kan?”
            Bagai tersambar petir, kepingan memori berjejer mengutuhkan puzzle yang sedari tadi enggan bersatu. Hari itu, di tepi pantai Nusa Dua, aku, pria bernama Andra juga, dan Netri terlibat pertengkaran sengit. Aku marah, memberontak, tak terima pada kenyataan. Andra yang kusuka direbut oleh Netri, sahabatku sendiri.
            Kugelengkan kepalaku kuat-kuat. Aku tak mau menjadi gila. Tapi, apakah kejadian dulu akan terulang kembali? Oh, tidak! Aku tak bisa jika harus merasakan kehilangan seperti ini.
            “Di, Netri kesini ingin meminta maaf padamu. Lagipula, apa kamu benar-benar lupa sama aku?”
            “Kamu? Kamu, Andra.”
            “Andra Prasetya. Andra masa kecilmu, Di.”
            “Ap-apa?! Nggak, nggak mungkin kamu Andra Prasetya. Andra Prasetya itu....”
            “Andra Prasetya itu putih, gemuk, tapi rapi dan wangi, kan? Tapi... Andra yang sekarang, Andra yang di depanmu, udah nggak putih lagi, udah nggak gemuk lagi.”
            Perlahan, kutatap wajah Andra di depanku. Tatapan matanya masih sama seperti yang dulu, cokelat tua yang teduh. Samar-samar, potongan puzzle itu kembali menyatu, menyeruak dadaku. Apa yang kuharapkan dari pertemuan ini?
            “Di, apa kamu ingat surat-surat yang pernah kamu tulis untukku?”
            “Surat?”
            “Bukankah tiap tahun kamu selalu melakukannya?”
            Andra mengeluarkan sebuah kotak yang disimpannya di dalam kapal. Entah bagaimana, aku merasa harus percaya padanya. Di dalam kotak itu, terdapat berlembar-lembar surat yang menyatakan perasaanku. Aku menaruh surat itu di dalam botol, menghanyutkannya di pantai Nusa Dua saat senja hampir berakhir. Tapi malangnya, aku tak pernah benar-benar menyaksikan surat itu hanyut terbawa arus pantai.
            Kini, surat di dalam kotak milik Andra, menjadi bukti bahwa ia memang pembajak hati. Meski aku sangsi, sebab Netri seolah tak merelakan Andra menjadi milikku hingga nanti.
            “Di? Diandra?” panggil Netri seketika.
            “Hah? Diandra? Dari mana kamu tau nama singkatan itu?”
            “Dari Andra. Dia sering cerita ke aku, dan aku sadar setelah kamu pergi meninggalkan kami waktu dulu. Seharusnya, aku tak berani melakukan hal itu. Terlebih, kamu adalah sahabatku.”
            “Lalu?”
            “Aku minta maaf, Di. Aku menyesal.”
            “Kenapa baru sekarang kamu bicara menyesal?”
            “Udah, Di. Kasihan, Netri. Dia lagi sakit. Ada baiknya kita semua mengambil pelajaran dari semua yang pernah terjadi. Lagipula, aku perhatikan, kamu udah banyak berubah, Di.”
            “Tapi, kebahagiaanku?”
            “Bukankah kebahagiaan bisa kamu ciptakan sendiri, Di? Harusnya kamu juga sadar setelah tahun-tahun ketakmungkinan kita. Harusnya aku jujur saja waktu pertama kali kita jumpa di Nusa Dua, sebagai pelayan di The Pirates Bay.”
            “Kamu..., aku harus bilang apa?”
         “Nggak ada yang harus kamu bilang, Di. Yang ada, serahkan saja hatimu padaku. Karena akulah pembajak hatimu. Begitu yang kamu mau, kan?”
            “Kamu curang. Kamu membaca semua isi suratku.”
            “Setidaknya, itu bisa membuatmu tersenyum. Aku bahagia jika kamu bahagia, Di. Diandra. Dian dan Andra.”
            Tanpa banyak kata maupun tanya, senyumku memang lepas begitu saja. Dan harus kuakui, aku telah memaafkan Netri begitu lama, meski memandang wajahnya menyisakan guratan luka. Ah, andai saja waktu bisa kuputar kembali ke sebuah masa. Tapi sudahlah. Seperti kata Andra, seharusnya kebahagiaan bisa diciptakan sendiri di tiap-tiap jiwa.
            “Andraaa, you are the pirate of my heart!” teriakku pada senja yang hampir berakhir.

~ The end ~

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

No comment - No cry
Meskipun komenmu sangat kuhargai disini :')

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...