“Mas, bagus ya cincinnya. Makasih loh udah beliin cincin
ini buat Rika.” Rika memuji sebuah cincin emas yang melingkar di jari manis
kirinya.
“Iya. Asalkan Rika senang, Mas juga senang.”
“Mas beli dimana sih cincinnya?”
“Emm… beli di toko, sayang.”
“Rika juga tahu, Mas. Ya udah, diminum dulu tehnya,
mumpung masih hangat.”
Ada raut kebingungan yang tergambar di wajah Mas
Kardi. Rika tahu kalau selama ini keuangan Mas Kardi cukup susah. Tapi melihat
cincin yang diberikannya, Rika tak mau terlalu ambil pusing. Toh, mungkin saja
Mas Kardi lagi dapat rejeki nomplok. Rika juga sudah lama mendambakan cincin
sebagai tanda ikatan mereka.
..::..
“Itu cincinku. Kamu nggak boleh memakainya.” Seru seorang
Ibu tua.
“Ini cincinku. Bukan cincinmu. Kamu mau apa?” Rika
mengelak, menjauhi Ibu tua itu.
“Aku hanya mau cincinku. Itu cincinku!”
“Tidak!”
Ibu tua itu mengejar Rika, wajahnya terlihat marah
sekali. Rika terus berusaha berlari hingga tiba-tiba ia terjatuh ke lantai. Ia mendongakkan
kepalanya ke atas, mencari sosok Ibu tua itu.
Rika menghela nafas, “Hhh, syukurlah. Ternyata Rika hanya
mimpi buruk.”
..::..
Seminggu kemudian, Mas Kardi datang ke rumah Rika seperti
malam-malam minggu biasanya. Ia mengajak Rika pergi makan di salah satu warung
kaki lima langganannya. Meski bukan di restoran mewah, Rika tetap senang karena
bisa bersama Mas Kardi.
“Mas Jarwo, kami mau pesan makanan nih.” Ucap Mas
Kardi.
Mas Jarwo berjalan menuju mereka. Matanya menatap Rika
dengan tatapan aneh, lalu ia berkata, “Ibu… Ibu kenapa ada disini?”
“Ibu?” tanya Rika heran.
“Wo, Jarwo! Kamu kenapa?”
Mas Kardi mengguncang tubuh Mas Jarwo. Mas Jarwo tersadar,
pandangannya membuyar. Tapi kini, ia melihat tajam ke jari manis kiri Rika.
“Cincin itu, kenapa ada di kamu?”
“Mas Kardi yang membelikannya. Iya kan, Mas?”
“Bohong! Mas Kardimu itu pasti bohong!”
“Mas Kardi nggak mungkin bohong, Mas.” Rika terdiam
sejenak, lalu beralih ke Mas Kardi, “Mas, bilang donk kalau Mas memang
membelikannya.”
“Maafkan Mas, Ka.” Mas Kardi tak sanggup berkata lagi.
“Apa kubilang?! Kemarikan cincin itu, aku harus
menguburnya.”
..::.. words: 325 ..::..
Cincinnya itu milik ibu jarwo yg udah meninggal kah?
BalasHapusIya mbak..
HapusBuat saya yg telmi, rasanya kurang jelas apa maksud 'mengubur' di akhir cerita. Mungkin kalo versi saya, kalimatnya kuganti, "Apa kaubilang? Kemarikan. Cincin itu seharusnya sudah dikubur bersama jenazah ibuku... sebulan yang lalu."
HapusBut over all, idenya bagus :')
Oh gitu ya, Mbak. Maklum masih bljr bwt FF. Terima kasih bwt ending versi Mbak. :)
Hapusmmm...pertanyaanku adalah, kok bisa cincin (yg harusnya sudah dikubur Jarwo) ada di tangan Kardi?
BalasHapusKeep writing ya^^
Cincinnya diambil sebelum Ibu Jarwo dikubur. Apa ceritanya masih kurang ya? Aaak... gak pandai bwt FF, Mbak.
HapusMungkin Jarwo dan Kardi kakak beradik ya, Say?
HapusIdenya bagus kok :D
Sebenarnya mereka bukan kakak beradik, cuma teman aja.
HapusIya tapi apalah artinya ide tanpa kata-kata yg bagus, Mbak.
mungkin bukan kata-katanya yang harus dibaguskan, tapi penggambaran melalui kalimat itu lho yang kita maksud. jadinya, lebih jelas ceritanya :)
Hapuskeep writing ya :)
Iya, Mbak. Lebih belajar lagi nanti dlm penggambaran melalui kalimat. Keep fighting for writing :)
Hapusoh mas kardi ini nyuri yah :(
BalasHapusIya, maksudnya gitu..
Hapusberarti mas kardi ambil dari dalam kubur ya?
BalasHapusLebih tepatnya seperti itu. Tapi kesannya malah nggak dapat. :(
HapusKardi ngambil cincin dari kuburan ibunya jarwo, ea? Hehehe
BalasHapusIya,
HapusPertanyaan saya sudah dijawab di komentar teman-teman di atas. Tadi saya mau nanya, kenapa si jarwo ikutan nimbrung waktu Kardi lagi pacaran..? :D
BalasHapusItu aja sih.. Hehe
Hehe.. :D
HapusMakasih udah ikutan Berani Cerita ya Susi! Idenya bagus!
BalasHapusSaran sedikit ya, ceritanya seperti ada yang bolong. Kejanggalannya kalau menurut mimin, kalau Kardi mencuri cincin dari ibu Jarwo, kayaknya Kardi gak bakalan nampakin batang hidungnya ke hadapan Jarwo kan ya? Kecuali terpaksa atas ajakan Rika. IMHO
Keep writing ya darling :)
Iya Mbak min, emang berasa ada yg bolong, janggal dimana-mana. Always keep writing :)
Hapus