Sejujurnya
aku tak ingin mengingat-ingat lagi, apalagi sampai mengenang sosok itu. Sakit
rasanya, perih, dan aku bisa menangis semalam karenanya. Tapi entah
kenapa, malam ini aku mengingatnya saat aku membuka album fotoku. Dan juga
segelintir barang kenangan tentang aku dan dia.
Tak
banyak barang yang ada di dalam kardus
cinta lamaku. Yang banyak jelas saja kenangan bersamanya. Waktu-waktu
yang berlalu bagai dihempas angin. Saat bisa berbagi cerita, canda tawa, juga
derai airmata yang tak
terhitung lagi. Tapi itu dulu, jauh sebelum
aku merasa kehilangan dirinya.
***
“Bade, malam
ini temenin Si nonton yuk. Sekalian ngerayain ulang tahun Si.”
“Boleh, jam
berapa?”
“Jam tujuh
aja, Bade jemput ya. Abis itu kita fotobox bareng.”
“Oke.”
Beberapa lembar foto bersamanya tercetak nyata. Juga tiket
nonton ‘Laskar Pelangi’ yang masih kusimpan, dan tiket-tiket lainnya di
kemudian hari.
***
“Bade, hari ini temenin belajar di rumah ya. Abis itu
kita ke Agro Khatulistiwa.”
“Siap, bentar lagi Bade ke rumah Si.”
Entah berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk belajar
bersamanya. Semester 3, 4, 5, 6, 7, juga 8.
***
“Bade, lagi sibuk nggak? Kalo nggak, temenin Si
karaoke yuk.”
“Nggak kok, untuk Si … Bade nggak pernah sibuk, tenang
aja.”
Akhirnya, kami bernyanyi berdua di Mall. Suaranya memang
terdengar merdu, apalagi jika dia bermain gitar di rumahku. Tapi sayang beribu
sayang, gitar itu sudah tak ada lagi. Sudah dijual adikku.
***
“Bade, bosen nih di rumah. Jjs yuk!”
“Boleh, tapi Si yang jemput ya. Bade tunggu di depan
Asrama.”
Dan jadilah, aku pergi menjemput dia. Jaraknya cukup
jauh, tapi demi rasa ini … entah mengapa, aku rela menghampirinya. Aku begitu menikmati
momen-momen kebersamaan itu. Dan anehnya lagi, aku berharap bahwa dia juga
merasakan yang sama denganku.
***
“Bade, boleh minta tanda tangannya nggak disini?”
pintaku seraya menyodorkan buku harian dan pena kesayanganku.
“Boleh, di tangan Si juga boleh kok. Dimana aja boleh,
hehehe ….”
Lantas, buku harianku tertera tanda tangan dan
namanya. Buku harian yang selalu berkisah tentangnya, juga bait-bait puisi
cinta untuknya. Kadang-kadang, aku tak malu mengirim bait-bait puisi itu
kepadanya. Kadang pula, dia membalas canda untuk menjadikan bait itu sebuah
lagu. Tapi tak kunjung jadi hingga sekarang.
***
Bade, itu panggilan kesayangannya. Ia dekat denganku,
dekat juga dengan Mama. Tapi satu kejadian tak bisa kuterima, saat dia menyatakan
dengan jelas bahwa 'aku terlalu baik untuknya'. Aku memang baik padanya karena
aku sayang, dan mungkin rasa sayangku lebih dari sekedar sahabat. Itu jelas, terlihat
dari berbagai permintaanku padanya. Minta temenin nonton bioskop, temenin
karaoke, temenin jalan-jalan, dan lainnya.
Tapi
itu dulu, jauh sebelum aku merasa kehilangan dirinya. Saat ia
selesai wisuda, ia menghilang tanpa kabar. Ia pindah merantau ke kota orang. Tepat
setahun berlalu, aku bertemu dengannya lagi. Dan ia masih mengatakan hal yang
sama bahwa 'aku terlalu baik untuknya'.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
No comment - No cry
Meskipun komenmu sangat kuhargai disini :')